JAKARTA – Transformasi untuk Keadilan (TuK) Indonesia baru-baru ini menyatakan kekecewaannya yang mendalam terhadap peluncuran Taksonomi untuk Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tanggal 20 Februari 2024.
Menurut TuK, TKBI yang
dimaksudkan sebagai pembaruan dari Taksonomi Hijau Indonesia (THI) sebelumnya,
justru mengalami kemunduran yang signifikan dalam berbagai aspek.
Linda Rosalina, Direktur Eksekutif TuK INDONESIA, dalam rilisnya yang diterima Receh.in menekankan bahwa pembaruan taksonomi seharusnya membawa kemajuan yang positif, bukan malah menciptakan kebingungan melalui penambahan kategori "Transisi".
Ia menyoroti pentingnya klasifikasi "Merah-Kuning-Hijau" untuk
memberikan informasi yang jelas dan spesifik, terutama untuk menghindari
multitafsir, greenwashing, social washing, dan impact washing dengan kerangka
berbasis ilmiah.
TuK INDONESIA menyoroti beberapa kekecewaan terhadap TKBI,
antara lain:
- Sikap Plin-Plan OJK Terhadap Keuangan Keberlanjutan di Indonesia: Laporan Pilot Project Pelaporan THI oleh OJK pada tahun 2022 menunjukkan bahwa portofolio kredit/pembiayaan kepada sektor ekonomi dengan klasifikasi "Merah" atau "Kuning" memiliki Tingkat Kredit Bermasalah (NPL) yang lebih tinggi dibandingkan dengan sektor "Hijau". Kategori "Transisi" yang diperkenalkan dalam TKBI menimbulkan kekhawatiran terkait transparansi dan risiko, yang dapat menghambat keputusan investasi yang tepat dan berpotensi mengarah pada praktik greenwashing.
- Potensi Deforestasi yang Semakin Masif: Klasifikasi "Hijau" dan "Transisi" dalam TKBI berpotensi memicu deforestasi masif. Stefan Giljum dari Institute for Ecological Economics, Vienna University of Economics and Business, Austria, menunjukkan bahwa industri pertambangan menyumbang 58,2 persen dari deforestasi hutan tropis di Indonesia. Ini menunjukkan inkonsistensi OJK dalam mendukung tujuan dari Paris Agreement.
- Pengabaian Fakta pada Sektor Pertambangan dan Penggalian yang Mematikan: Pada Mei 2023, kredit yang disalurkan kepada industri pertambangan dan penggalian mencapai Rp256,41 miliar, menunjukkan peningkatan signifikan dari tahun sebelumnya. Ketidakjelasan dalam klasifikasi TKBI dikhawatirkan akan mendorong peningkatan pembiayaan yang signifikan pada bisnis pertambangan berisiko tinggi.
- Mekanisme Penanganan Pengaduan yang Tidak Jelas: TKBI tidak menyediakan mekanisme penanganan pengaduan yang dapat diakses oleh masyarakat, termasuk kelompok rentan dan marjinal, membuat mereka sulit menyampaikan keluhan dan mendapatkan solusi atas dampak negatif lingkungan dan sosial.
- Ketiadaan Sanksi dan Insentif: TKBI tidak memiliki ketentuan mengenai sanksi atau denda bagi pengguna yang tidak patuh, dan penggunaannya bersifat sukarela. Hal ini dikhawatirkan akan menghambat transisi ke praktik ekonomi yang berkelanjutan.
Sebagai respons, TuK INDONESIA merekomendasikan beberapa
langkah untuk mengatasi kekurangan TKBI, termasuk membuat TKBI menjadi aturan
wajib, menyediakan mekanisme penanganan pengaduan yang mudah diakses,
menetapkan sanksi dan insentif bagi pengguna TKBI, serta memberlakukan
pembatasan pembiayaan berdasarkan klasifikasi aktivitas ekonomi.
TuK INDONESIA mendesak OJK untuk segera mengkaji ulang TKBI,
memastikan bahwa taksonomi ini benar-benar mendorong transisi energi yang
berkeadilan dan praktik ekonomi yang berkelanjutan di Indonesia. Keberhasilan
implementasi TKBI tidak hanya akan berdampak pada lingkungan dan masyarakat
Indonesia tetapi juga pada reputasi dan kredibilitas kebijakan keuangan
berkelanjutan Indonesia di mata dunia.
0 Komentar