Receh.in – Investor, masih ingat dengan PT Bakrie Telecom Tbk. (BTEL)? Perusahaan dari kelompok usaha Bakrie yang sahamnya seolah abadi di level Rp50 yang dahulu punya produk HP Esia.
Sudah lebih dari 2 tahun pula emiten telekomunikasi ini
disuspensi Bursa Efek Indonesia (BEI) dan terancam delisting.
Meski jadi saham yang mati suri, kenyataannya masih ada 50,76 persen kepemilikan investor publik pada saham BTEL.
Selain kepemilikan masyarakat, ada juga saham yang dikuasai PT
Huawei Tech Investment sebanyak 16,81 persen, PT Mahindo Agung Sentosa sebanyak
13,58 persen, PT Bakrie Global Ventura sebanyak 7,17 persen, Raiffeisen Bank
International sebanyak 6,01 persen, Credit Suisse AG Singapore Branch sebanyak
5,38 persen dan PT Bakrie & Brothers Tbk (BNBR) sebanyak 0,12 persen.
Dengan melihat persentase ini, tampaknya apa yang terjadi
pada BTEL maka yang paling terdampak adalah investor publik yang nyangkut,
bukan kelompok usaha Bakrie.
Menurut laporan keuangan Bakrie Telecom yang baru saja
dirilis, per akhir Juni 2021 aset perusahaan mencapai Rp6,8 miliar, naik dua
kali lipat dari posisi akhir 2020.
Di sisi lain, liabilitas (kewajiban/utang) perusahaan
mencapai Rp11,38 triliun per akhir Juni 2021, naik dari akhir 2020 sebesar
Rp11,31 triliun.
Rupanya dalam 6 bulan terakhir BTEL masih mampu mengisi pos
pendapatan usaha, bahkan naik dibandingkan dengan 2020.
Pendapatan usaha perseroan mencapai Rp16,26 miliar selama
semester I/2021, naik dari periode 2020 penuh yang mencapai Rp5,83 miliar.
Walau begitu, BTEL masih mencetak rugi usaha sebesar
RpRp2,67 miliar, turun dari periode 2020 penuh yang rugi usahanya mencapai
Rp4,52 miliar.
Sementara itu, rugi tahun berjalan semester I/2021 adalah
Rp72,72 miliar, turun dari rugi tahun lalu sebesar Rp174,37 miliar.
Sejarah Singkat
Bakrie Telecom dahulu bernama PT Radio Telepon Indonesia, didirikan
di Indonesia pada 13 Agustus 1993.
Pada 3 Februari 2006, Bakrie Telecom mencatat sahamnya di
BEI.
Untuk saat ini Perusahaan memiliki ijin jasa koneksi
internet (Internet Service Provider /ISP) dan izin jasa teleponi dasar melalui
jaringan bergerak seluler.
Pada 26 September 2014, Perusahaan memperoleh persetujuan
pengalihan izin penggunaan spektrum frekuensi radio pada pita frekuensi radio
800 MHz PT Bakrie Telecom Tbk kepada PT Smartfren Telecom Tbk.
Pada tanggal 30 Juni 2021 dan 31 Desember 2020, jumlah
karyawan Kelompok Usaha masing-masing adalah 220 karyawan (tidak diaudit).
Bakrie Telecom juga pernah masuk dalam penundaan kewajiban
pembayaran utang (PKPU) di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Kelangsungan Usaha
Dalam laporan keuangan tersebut perusahaan juga menyampaikan soal peluang kelangsungan usaha.
Pada 30 Juni 2021, Kelompok Usaha BTEL mencatat nilai aset
sejumlah Rp6,82 miliar serta mengalami defisiensi modal sejumlah Rp11,37
triliun dan mencatat liabilitas sejumlah Rp11,38 triliun yang terbagi dalam
utang yang telah dselesaikan melalui PKPU sejumlah Rp10,49 triliun dan utang
jangka pendek sejumlah Rp 890 miliar.
Apabila BTEL tidak mampu melaksanakan pembayaran porsi utang
yang diselesaikan melalui PKPU sejumlah tersebut, maka pada 2026 utang pokok
sejumlah Rp9,89 Triliun akan dikonversi menjadi kepemilikan kreditur di saham
Perusahaan.
Dengan maksud untuk tetap mempertahankan kelangsungan usaha
dan menyelesaikan liabilitas tersebut di atas, manajemen BTEL memiliki rencana aksi sebagai berikut:
- Melaksanakan negosiasi kepada para kreditur dan pemasok agar utang akrual bunga sejumlah tersebut dapat dihapuskan atau dikurangi.
- Mengoptimalkan kinerja PT Inovasi Teknologi Nusantara (ITN) dan PT Layanan Prima Digital (LPD), entitas anak yang masih memiliki kemampuan untuk menghasilkan pendapatan, dengan cara mendapatkan proyek baru dari pihak ketiga maupun memperoleh dukungan dari pihak afiliasi agar mendapatkan proyek-proyek baru.
- Pelaksanaan penyelesaian kewajiban berdasarkan keputusan PKPU sesuai jangka waktu yang telah ditetapkan.
- Mendirikan lini bisnis baru sesuai dengan bisnis utama Kelompok Usaha atau lini bisnis tersendiri yang menyasar pasar pihak ketiga dan dengan dukungan dari pihak afiliasi.
- Dengan rencana aksi tersebut di atas serta kinerja ITN dan LPD, suatu entitas anak masih memiliki kemampuan untuk beroperasi yang menghasilkan pendapatan, maka Manajemen Kelompok Usaha menyusun Laporan keuangan konsolidasian dengan asumsi bahwa Kelompok Usaha akan melanjutkan usahanya secara berkelanjutan.
0 Komentar