Investasi adalah tindakan mengalokasikan sumber daya, seperti dana/uang, dengan harapan menghasilkan keuntungan ataupun pendapatan di masa depan.
Investasi bisa dilakukan di banyak bidang, seperti properti, surat berharga, logam mulia, benda seni, dan sebagainya.
Berinvestasi tidak boleh sembarangan
dilakukan bila kamu ingin mendapatkan hasil yang optimal atau sesuai harapan. Kalau sekadar investasi, tanpa dilakukan dengan benar, bisa-bisa bukan untung malah dapatnya buntung.
Nah, sobat Receh, ada sejumlah hal yang harus kamu waspadai sebelum berinvestasi, seperti menentukan jangka waktunya hingga mengukur profil risiko (seberapa besar kita bisa menerima penurunan nilai aset).
Berikut adalah 7 hal yang patut kamu hindari sebelum investasi. Saran ini bersumber dari manajer investasi Schroders Indonesia.
.......................
1. Tidak tahu TUJUAN investasi dan profil risiko
Tujuan investasi itu penting Sob, jadi jangan
mengabaikannya. Sama seperti kalau kamu pergi keluar rumah, tentu punya tujuan. Kalau
tidak punya tujuan, kamu tidak akan sampai di mana pun.
Kalau mau sukses dalam investasi, tujuan
dan perencanaan mencapai tujuan itu penting. Ini akan membuat kamu terarah, fokus, dan mampu memilih strategi serta produk investasi yang tepat.
Untuk dapat memilih produk yang tepat, kamu
juga mesti paham profil risiko. Jangan sampai memaksakan diri memilih investasi
yang tidak sesuai dengan profil risiko yang berujung kekecewaan dan tidak
tercapainya tujuan investasi.
Kalau kamu tidak sanggup menahan kerugian hingga 20% misalnya, maka jangan investasi di saham.
Cari produk yang tingkat
risikonya bisa kamu tolerir, misalnya seperti reksa dana pendapatan tetap (obligasi). Kalau kamu
benar-benar konservatif, cari misalnya reksa dana pasar uang yang dananya
digulirkan ke deposito.
Menurut Investopedia, dalam berinvestasi, risiko dan keuntungan adalah dua sisi dari mata uang yang sama; Risiko rendah umumnya berarti hasil yang diharapkan rendah, sedangkan hasil yang lebih tinggi biasanya disertai dengan risiko yang lebih tinggi.
2. Membeli produk investasi karena tren (FOMO)
Ini sering banget terjadi, istilahnya FOMO
atau fear of missing out. Takut ‘ketinggalan
kereta’.
Membeli produk investasi yang sedang tren
itu tidak masalah, yang jadi persoalan kalau kamu beli hanya karena lagi booming padahal kamu tidak paham. Contohnya
belakangan ini ya saham dan aset kripto.
Saham kan sudah lama? Iya, tapi bagi
sejumlah orang itu baru ngetren belakangan.
Saham kan legal dan dilindungi regulasi?
Iya, tapi kan banyak yang terjun ke saham karena ikut-ikut saja. Hasil
akhirnya, pinjam uang buat beli saham, trus dananya nyangkut di saham farmasi
hehehehe.
Karena itu, luangkan waktu untuk investasi “leher
ke atas” alias belajar. Dengan belajar kamu bisa mengurangi risiko karena jadi
lebih paham terhadap produk investasi yang kamu beli. Jangan sampai menyesal di
lain hari.
Contoh kasus investasi karena tren itu
seperti investasi bodong. Biasanya booming karena memberi iming-iming imbal
hasil fantastis dan pasti. Lalu orang-orang yang nggak paham berbondong-bondong
tanam duit di sana.
3. Panik saat pasar berfluktuasi
Ini khususnya terkait dengan investasi di pasar
modal maupun produk derivatif dan aset kripto. Apalagi kripto, naik dan
turunnya tidak ada batasan.
Kalau di Bursa Efek Indonesia masih
membatasi fluktuasi harga. Selama pandemi, penurunan harga maksimal dalam sehari
adalah 7%, sedangkan kenaikannya dibatasi bervariasi hingga maksimal 25% kalau
nggak salah.
Fluktuasi adalah hal yang wajar di pasar
modal karena itu jangan mudah panik. Terutama bagi investor pemula. Jika kita
sudah menetapkan tujuan investasi maka kita jga sudah punya strategi menghadapi
flutuasi pasar. Misalnya, pada penurunan berapa kita harus berani cut loss, atau justru top up atau menambah modal.
Apalagi jika kamu memiliki tujuan jangka panjang,
tetaplah fokus pada tujuan investasimu. Jangan tergoda untuk mengambil
keputusan investasi yang terburu-buru karena fluktuasi yang terjadi.
4. Mencoba melakukan market timing
Market
timing merupakan satu hal yang sulit dilakukan,
karena tidak seorang pun tahu kapan pasar mencapai titik terendahnya. Bahkan
mereka yang sudah bergelut di pasat modal bertahun-tahun juga tak mudah
melakukannya.
Arti market timing adalah upaya investor menentukan waktu kapan masuk pasar dan kapan keluar pasar. Di atas kertas mungkin terdengar bagus, tetapi kalau kamu bukan trader rasanya market timing bukan cara yang tepat.
Lakukanlah DCA. Dollar-cost averaging (DCA) adalah strategi investasi di mana investor membagi jumlah total yang akan diinvestasikan di seluruh pembelian berkala aset target dalam upaya untuk mengurangi dampak volatilitas pada pembelian secara keseluruhan.
Atau investasi reguler, tanpa melihat
kondisi pasar, yang akan memberikan potensi keuntungan dalam jangka panjang.
5. Konsentrasi pada satu jenis investasi, tidak membentuk PORTOFOLIO
Lawannya adalah diversifikasi. Ingat soal
risiko. Namun, setiap investasi punya karakter dan risiko masing-masing. Karena
itu, bagi dana kamu pada beberapa investasi yang beda karakter.
Penting tuh, beda karakter. Jangan karena
kamu sudah buka akun saham di broker, lalu kamu investasikan duitmu di saham
JPFA, CPIN, MAIN … meski itu 3 saham yang beda, itu masih saham. Apalagi,
semuanya saham unggas.
Misalnya, 30% di saham (inipun dibagi dalam
beberapa saham), 40% di reksa dana pasar uang, 20% di reksa dana pendapatan
tetap, 10% di kripto. Ya tinggal utak-atik saja sesuai dengan risiko yang bisa
kamu tolerir.
Ini juga terkait dengan tujuan investasi
kamu. Apakah dana akan dipakai dalam waktu dekat, atau investasi jangka
panjang.
6. Pakai DANA DARURAT untuk investasi berisiko tinggi
Kebiasaan nih. Biasanya kalau orang belum mengalami namanya loss investasi masih berani pakai dana darurat atau bahkan dana pinjaman.
Lebih haram lagi tuh
pakai duit pinjam untuk investasi. Kalau institusi sih terserah ya, tetapi kalau
individu jangan, deh.
Dana darurat, kalau menurut saya, masih
bisa sebagian ditaruh di reksa dana pasar uang karena likuid dan risikonya
paling rendah. Tapi jangan semua, misalnya 50 persen di pasar uang, 50 dana tunai/tabungan.
Akhir-akhir ini ada juga produk tabungan yang memiliki return setara investasi loh (bukan deposito), yang ditawarkan bank digital. Ini bisa jadi opsi untuk menaruh dana darurat yang sewaktu-waktu memang dibutuhkan.
7. Tidak memonitor investasi
Kalau model investasimu jangka panjang,
kamu tidak perlu memonitor setiap hari. Namun, tetap perlu tahu mereview rutin
agar tujuan investasimu tercapai.
Lihat saja waktu awal pandemi, semua saham
rontok. Saat seperti itu kamu juga harus berani melakukan cut loss dan
memindahkan dana sementara ke produk yang lebih tahan banting seperti reksa
dana pasar uang atau pendapatan tetap.
Baru setelah terlihat pembalikan kamu bisa
perlahan masukin lagi dana ke saham.
9 Komentar
kalo kata ligwinan hananto, "Tujuan lo apa"
Ya ampun pas saham happening waktu ini, beberapa teman langsung serbu, eh enggak sesuai harapan.
Setuju jika sebaiknya luangkan waktu untuk investasi “leher ke atas”.
Karena dengan belajar kita bisa mengurangi risiko karena jadi lebih paham terhadap produk investasi yang kita beli, biar enggak menyesal di kemudian hari.